Senin, 19 September 2016

Cerita Seputar Melahirkan (Pengalaman Pertama)

Semua yang serba pertama pasti bikin deg-degan. Pasti bikin ketar-ketir khawatir, makan tak enak tidur tak nyenyak istilah gampangnya. Begitu juga saya saat menghadapi kelahiran putri pertama saya, Sabina, lima bulan yang lalu. Pengalaman yang luar biasa tentu, dengan campur aduknya perasaan yang tak bisa diurai satu-satu.
Kekhawatiran saya yang pertama tentu adalah, takut sakit. Saya adalah tipe orang yang tidak mudah menahan sakit. Sakit sedikit saja, ngeluhnya panjang lebar. Apalagi melahirkan, yang katanya rasa sakitnya sama dengan berapa ratus tulang dipatahkan bersamaan (lupa pernah baca dimana).
Untuk mengatasi rasa khawatir berlebih atas rasa sakit ini, saya berhenti membaca tentang pengalaman orang melahirkan, pokoknya stop blogwalking tentang hal itu. Lalu mencoba mensugesti diri sendiri dengan menganggap melahirkan itu hal yang mudah, yang normal dan tidak sakit. 
Yang kedua adalah, HPL sudah dekat tapi belum ada tanda-tanda mau melahirkan. Bahkan sampai HPL itu tiba, kontraksi yang palsu sekalipun belum muncul.  Cemas sudah pasti. Karena bidan  mengultimatum, kalau sampai seminggu lebih dari hari perkiraan lahir, saya dan suami disarankan untuk ke rumahsakit. Dengar kata rumah sakit tentu membuat pikiran tambah panik. Karena dari awal kehamilan, saya bertekad untuk melahirkan di rumah bidan saja. Saya ngeri masuk rumah sakit. Apalagi saya kan hamil, bukan sakit. Jadi sebisa mungkin melahirkan normal di rumah bidan. Alhamdulilah riwayat kesehatan saya selama hamil pun memungkinkan hal itu.
Alhamdulilah lagi, empat hari setelah HPL, perut uda terasa mules-mules. Tapi jaraknya masih lama dan belum ada lendir darah yang keluar. Saya masih bertahan dirumah, dan masih beraktivitas seperti biasa. Hari berikutnya, kontraksinya bertambah kuat walaupun jaraknya masih lama.  Lendir bercampur darah pun sudah keluar walaupun sedikit.
Sore harinya dengan diantar suami, saya periksa ke bidan. Setelah di cek sama bu Bidannya ternyata belum ada pembukaan. Kami pun kembali pulang ke rumah. Untung jarak rumah saya dan rumah Bidan cukup dekat.
Sepanjang malam itu, saya tidak bisa tidur karena rasa mulas dan nyeri di perut semakin sering mendera. Suami pun ikutan tidak bisa tidur juga, karena sibuk menenangkan saya dan pasrah lengannya diremas istrinya yang tengah menahan sakit. 
Pukul lima pagi, kami ke Bidan. dan ternyata sudah bukaan tiga, Alhamdulilah. Saya pun disuruh pindah ke ruang bersalin. Untuk mempercepat pembukaan, Bu bidan menyarankan saya untuk berbaring miring ke kiri. Tapi ya ampun, sakitnya itu. Masyaalah. Nyerinya luarbiasa. Selama proses pembukaan lengkap ini, saya berulangkali tak bisa menahan jeritan. Kangmas sudah mengingatkan saya untuk menarik napas dalam, ah tapi dalam keadaan seperti itu, hal sesimpel itu pun susah sekali dilakukan. Selama masa pembukaan ini, beberapa kali keluar cairan bening seperti air seni dari maaf, vagina saya. Kata Bu Bidan itu cairan ketuban. Sebenarnya agak bahaya juga kalau cairan ketubannya keluar duluan. 
Pukul 11.00 siang, pembukaannya sudah lengkap. Si Dedek bayi telah siap dilahirkan. Bu Bidan mempersiapkan saya untuk mengejan. Melihat saya mulai lemas, suami disuruh menopang tubuh saya dari belakang. Bisa dibilang, ini adalah proses paling penuh perjuangan dari keseluruhan proses melahirkan. Suami saya berulang kali menyemangati, begitu juga dengan kakak ipar saya, tapi yah, lagi-lagi itu tidak semudah untuk dilakukan.
Proses mengejan ini sendiri berlangsung hampir satu jam. Cukup lama, hingga membuat saya nyaris kelelahan dan kehabisan tenaga. 
Tepat pukul 11.55, si cantik pun lahir. Sehat, sempurna, dan lengkap. Alhamdulilah, syukur yang tak terkira kami rasakan. Seketika semua rasa sakit itupun hilang melihat wajah mungil itu. Bibirnya yang tipis dan kemerahan, kulitnya juga kemerahan, matanya sipit dan rambutnya hitam lebat. Beberapa orang bilang, rambut lebat inilah penyebab sakit luar biasa saat proses mengejan. 
Ah apapun itu, semua terasa sepadan saat merasakan tubuh mungil itu berbaring di dada saya untuk IMD. Bahkan saat bu bidan menjahit tubuh saya di bawah sana, rasanya sama sekali tidak sakit, padahal katanya tidak dibius. 
Yang tak henti-hentinya saya syukuri adalah, keberadaan kangmas dalam proses melahirkan saya. Begitu sabarnya dia mendampingi saya, menyemangati saya, walau tak jarang remasan dan cakaran saya mendarat di lengan dan bahunya. Bahkan sempat saya bentak juga saat saya menahan sakit sementara dia berbicara lembut untuk menyemangati saya. Ah sayang, maafkan istrimu ini. hehehe.
Wajah lemas dan pucat setelah melahirkan, sesaat sebelum pulang kerumah.

Si bayi merahku, yang lahir dengan BB 3,4 kg dan panjang 51cm. Banyak yang bilang face-nya mirip bapaknya. Alhamdulilah.
Alula Sabina Arrajabi, sekarang uda bisa tengkurep, merangkak mundur, dan guling-guling. Sudah tidak bisa ditinggal sendiri tanpa pengawasan. Sehat terus ya sayang, dan tumbuh jadi kebanggaan bapak ibu mu. Mwuach.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komen...yang sopan yaaa

 

Celotehan Ria Template by Ipietoon Cute Blog Design