Sabtu, 03 Mei 2014

Jingga Dalam Elegi Bab 1 dan 2

Kali ini saya mau share novel Jingga Dalam Elegi nya Esti Kinasih. Ini spesial buat sahabat saya Nana yang request ini novel. Met baca ya temans...hehehe



bab satu
Ini bukan lagi sekadar terror. Ini teror yang sudah bisa dikategorikan mengarah ke pembunuhan. Tidak dalam bentuk tindak kekerasan secara langsung, tapi dalam bentuk serangan jantung. Ari tidak mau menunggu lama. Dua mata sembab pagi itu melekat kuat di dalam kepala dan terus menyiksanya. Karenanya, selama sepasang bibir itu belum menjelaskan penyebabnya, dirinya tidak akan pernah bisa tenang. Dan Ari sudah terkenal tidak akan berkompromi terhadap siapa pun yang membuat dirinya tidak tenang. Hari ini, dua hari setelah menerima SMS ancaman dari Ari, Tari terdiam di ruang kelasnya yang langsung kosong begitu bel istirahat berbunyi lima menit yang lalu. Dia belum mendapatkan petunjuk apapun kecuali rasa cemas dan sederet tanda tanya tanpa jawaban. Tiba-tiba ponselnya di saku kemeja bergetar. Tari terlonjak. Dikeluarkannya benda itu. SMS masuk, dari Fio.
Tar, bruan. Soto lo kburu dingin nih. SMS kak ari smntra gak ush dipkrin dulu deh.
Tari langsung ingat, tadi dia meminta Fio memesankan semangkuk soto ayam dan berjanji akan segera menyusul. Tari berdiri dan bergegas ke luar kelas. Tapi belum sampai dua meter ditinggalkannya
pintu kelas, langkah-langkah cepatnya sontak terhenti. Oji melompat dari tepi koridor, tempat cowok itu berdiri dengan punggung menyandar di dinding, entah sejak kapan, lalu berdiri tepat di tengah-tengah koridor. Setelah beberapa detik menatap kaki tangan Ari itu dengan keterkejutan, Tari balik badan. Tapi kali ini lebih parah. Kakinya bahkan belum sempat melangkah,untuk kedua kalinya tubuhnya menegang. Tak jauh di depannya, Ridho berdiri menjulang. Tari menelan ludah. Dia melangkah mundur sampai punggungnya menyentuh tembok pagar pembatas koridor.
“Kakak berdua kenapa sih?” Tanya Tari, berusaha tetap terlihat tenang. Tak satu pun dari kedua cowok yang saat ini sedang memblokir jalannya menjawab. Keduanya menjalankan aksi mereka tanpa bicara. Oji menghalangi jalan dengan sikap berlebihan. Kedua tangannya terentang lebar-lebar. Nyaris menyentuh lebar koridor dari ujung ke ujung. Seolah-olah Tari adalah buronan berbahaya yang paling dicari dan selama ini punya catatan sebagai tukang kabur. Sedangkan Ridho, meskipun terlihat santai, hanya memblokir dengan tubuhnya, kedua tangannya bahkan terlipat di depan dada. Tari tahu dengan pasti, separuh lebih jarak koridor yang terbuka lebar itu sama sekali bukan jalan bebas hambatan untuk lari. Tari berdecak kesal. Seketika dia urungkan niatnya untuk ke kantin, karena memang tidak mungkin bisa dicapainya tempat itu. Dia melangkah cepat menuju pintu kelas. Tapi mendadak pintu itu terayun lalu menutup rapat. Tari terperangah. Seketika langkahnya terhenti. Ternyata selama ini daun pintu itu menyembunyikan Ari di baliknya. Tari menelan ludah. Perlahan kedua kakinya melangkah mundur, bersamaan dengan kedua kaki Ari melangkah mendekatinya. Tari terus mundur, sampai tembok pagar koridor menghentikan usahanya merentang jarak, dan langkah-langkah Ari kemudian menelan habis sisa jarak yang terentang diantara mereka berdua. Benar-benar habis karena Tari bisa merasakan kedua ujung sepatunya bersentuhan dengan kedua ujung sepatu Ari. Cewek itu menempelkan punggungnya rapat-rapat ke tembok di belakangnya, usaha terakhir yang bisa dilakukannya untuk menciptakan rentang jarak. Ari menatap cewek di depannya. Dengan senyum di kedua matanya, tapi tidak di bibirnya. “Jadi, siapa yang udah bikin lo nangis waktu itu? Angga bukan? Kok gue belom denger pengakuan elo nih?” tanyanya, menciptakan desir hawa dingin yang membuat tubuh Tari menggigil. Tari mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Sebenarnya dia pengin teriak, memerintahkan Ari agar enyah dari hadapannya. Tapi dipaksanya untuk menahan diri, karena ada dua alasan Tari malas jadi pusat perhatian. Pertama, perutnya lapar. Kedua, banyak pikiran. Bukan hanya karena hari ini ada banyak ulangan-tiga mata pelajaran!-tapi juga karena SMS ancaman dari monyet di depannya ini. dan belum juga Tari menemukan solusinya, orangnya keburu nongol di hadapan.
“Kenapa? Hmm…?” Tanya Ari lagi, setelah menunggu beberapa saat dan kedua bibir seksi cewek di hadapannya ini tidak juga terbuka. Yang menjawab adalah sepasang mata Tari yang seolah meletupkan nyala api.
“Lo takut ngaku? Atau lo lagi ngarang cerita untuk pengakuan itu? Atau lo emang nggak mau ngaku?” diberinya Tari multiple choice. Tapi argument yang kemudian mengikutinya membuat darah Tari tambah mendidih.
“Yang pertama, wajar. Emang harus gitu. Lo harus takut sama gue karena gue kan penguasa sekolah. Yang nggak takut sama gue, berarti nantang. Yang kedua, kalo lo berani ngarang-ngarang cerita bohong, berarti lebih dari nantang. Lo ngajak ribut. Dan yang ketiga…,” Ari menggantung kalimatnya. Kedua matanya menyipit tajam.
“Dan yang ketiga, kalo emang bener begitu…” lagi-lagi Ari menahan kalimatnya. Kali ini diikuti dengan dia tundukkan kepalanya rendah-rendah, membuat Tari reflex menarik kepalanya jauh-jauh ke belakang.
“Lo cari mati!” Ridho menahan senyum. Untuk Ari, melakukan kekerasan fisik terhadap cewek adalah pantangan. Hukumnya mutlak. Tapi untuk kekerasan verbal, batasannya sangat bias. Ari akan menempatkan cewek di posisi yang sejajar dengan cowok kalu menurutnya tuh cewek ndableg. Setelah mengucapkan ancaman itu, Ari kembali mengakkan kepalanya.
“Waktu lo tiga hari. Terhitung mulai hari ini.” Kemudian sang pentolan sekolah itu mundur selangkah dan meninggalkan Tari. Kedua sobatnya langsung menyusul. Tari menatap ketiga cowok itu dengan gigi-gigi gemeretak.
“Lo kira lo bisa maksa gue!?” desisnya.
“Lo salah orang!” Ponselnya di saku kemeja menjeritkan ringtone. Menyentakkan kedua mata Tari dari sosok Ari yang semakin jauh. Dikeluarkannya benda itu dari saku kemeja. Fio memanggil.
“Tar, soto lo keburu dingin nih. Ngapai aja sih? Udah gue bilang…” kalimat Fio mendadak terhenti.
“Ada Kak Ari!” bisiknya kemudian dengan nada tegang.
“Sama jongos-jongosnya. Waduh, kayaknya gawat nih!”
“Iya, emang gawat. Makanya buruan lo pergi dari situ.”
***
“Tiga hari, terhitung dari hari ini. berarti lusa dong?” gumam Fio. Tari mengangguk. Mukanya cemberut. “Terus rencananya lo mau bikin pengakuannya kapan? Maksud gue, pagi sebelom pelajaran dimulai, pas jam istirahat, atau pas pulang sekolah? Terus, di mana lokasinya? Saran gue sih, setelah pulang sekolah aja, Tar. Tapi jangan di sekolah. Di luar aja. Soalnya yang ekskul suka pada sampe sore. Sampe malem malah.”
“Emangnya siapa yang mau ngaku sih?” kontan Tari memelototi Fio.
“Ngapain jug ague mesti ngaku sama dia? Emang dia siapa gue? Pacar bukan. Gebetan bukan. Bapak gue, jelas bukan. Kakek gue apalagi! Dan dia juga nggak bayarin SPP gue. Dia juga nggak ngasih gue uang jajan. Terus, apa urusannya gue mesti ngaku?” Fio menghela napas lalu mengembuskannya kuat-kuat. Dilanjut dengan garuk-garuk kepala. Bukan karena gatal, tapi karena senewen.
“Kalo sama Kak Ari tuh nggak perlu alasan, lagi. Semua tindakannya malah bisa dan boleh tanpa alasan.” “Bodo! Pokoknya gue nggak bakalan ngaku.”
Tekad baja yang Tari banget. Karenanya, Ari bisa membacanya dengan mudah. Keesokan paginya, jam enam lewat sedikit, pentolan sekolah itu sudah nongkrong santai di atas motor hitamnya yang diparkir di tempat biasa. Dikeluarkannya ponsel dari saku celana.
“Ji, dapet nggak?”
“Dapetlah. Tapi kayak begitu doang.”
“Sesuai sama kriteria yang semalem gue sebutin, kan?”
“Iya.”
“Bagus.”
“Nggak pa-pa nih, Ri?” suara Oji berubah cemas.
“Nggak pa-pa. paling-paling tu cewek pingsan doang.”
“Yah, itu maksud gue. Pasti bakalan gempar lagi deh. Apalagi di koridor utama. Mendingan di koridor depan kelasnya aja. Kayak kemaren. Gimana?”
“Nggak seru, tau! Lo kenapa sih? Tumben cerewet banget?” Di seberang, Oji nyengir kuda. Sadar dirinya sudah melanggar batas hierarki.
“Gue Cuma takut tu cewek ntar kenapa-kenapa.?”
“Gue yang tanggung jawab kalo ntar dia kenapa-kenapa.” Tegas Ari tapi dengan nada kalem.
“Apa kata lo deh,” akhirnya Oji pasrah.
“Ya emang harus gitu. Buruan lo. Ntar keburu tu cewek nongol duluan.”
“Iya. Ini juga udah otewe.” sepuluh menit setelah Oji sampai di sekolah, Tari memasuki gerbang. Baik Ari maupun Oji, keduanya langsung bergerak.
“Gue duluan…” Oji melangkah cepat menuju koridor utama.
“Oke!” Ari mengacungkan jempol kanannya. Bibirnya mengembangkan senyum lebar. Melihat itu, Oji pergi sambil geleng-geleng kepala. Tari berjalan memasuki gerbang sekolah masih dengan tekad sekuat baja, meskipun dalam hati dia ketar-ketir juga. Akan dihadapinya ancaman Ari. Karena menurutnya itu sudah penindasan dan penjajahan terhadap kebebasan pribadi. Masa orang harus lapor ke dia, pacaran sama siapa. Enak aja! Sayangnya Ari tahu dengan pasti bagaimana cara melunakkan baja itu. Bahkan menghancurkannya sama sekali. Dengan cara yang sudah bisa dimasukkan dalam kategori sadis, karena mampu mengosongkan sekolah dari semua isinya yang bergender cewek. Baik siswi, staf administrasi, maupun guru-guru. Tapi bagusnya, tidak bisa dikategorikan sebagai tindak kekerasan. Karenanya Ari merasa aman. Sadis, tapi aman! Ari tersenyum tipis. Dengan kedua tangan berada di dalam saku celana, dia melangkah perlahan meninggalkan area parkir motor. Sementara itu Tari berjalan memasuki koridor utama tanpa kewaspadaan terhadap sekelilingnya. Benaknya disesaki seribu strategi untuk menghadapi peperangan besok. Besok dirinya akan datang mepet waktu. Kalau perlu satu detik menjelang bel. Dan selama dua kali jam istirahat, dia akan menyembunyikan diri di gudang. Makanya besok mau nggak mau harus bawa bekal. Jadi begitu bel istirahat berbunyi, dia bisa langsung kabur ke gudang. Nggak perlu beli logistic dulu ke kantin, karena itu berbahaya banget. Besok setiap detiknya akan benar-benar berbahaya dan menentukan keselamatan. Nggak waspada sebentar saja akan menjadi kekalahan total, berupa penjajahan, minimal satu tahun ke depan.
“Dateng pas udah mau bel. Berarti besok gue berangkatnya agak siangan aja. Atau nongkrong dulu di halte. Kak Ari kan naik motor. Jadi kecil kemungkinan bakalan ketemu dia di halte,” gumam Tari sambil berjalan menapaki lantai koridor utama.
“Terus, bekalnya gue minta Mama masakin apa ya? Atau gue beli roti aja?” Tiba-tiba kedua mata Tari berbinar.
“Ah, iya! Gue minta Mama masakin sambel goreng ken…”
“HIIIYYY!!!” Visual lauk terfavorit Tari, sambal goring kentang, seketika lenyap dari dalam kepalanya. Digantikan pemandangan paling mengerikan yang pernah dia saksikan. Besar. Gemuk. Abu-abu gelap bebercak-bercak. Lunak. Dan menggeliat! Jarak yang teramat dekat ditambah dengan geliat yang menandakan itu cicak hidup, cicak betulan, dan bukan cicak jadi-jadian apalagi cicak dalam khayalan, membuat Tari hanya bisa terperangah. Langkahnya seketika terhenti dan dia membeku di tempat, dengan mulut ternganga, mata terbelalak, dan mka pucat pasi. Tari tak mampu menjerit karena binatang paling menjijikkan itu berada terlalu dekat. Kurang dari satu meter. Seketika tubuhnya jadi lemas. Ari, yang langsung membayangi dalam jarak yang hanya dua meter di belakang Tari begitu cewek itu memasuki koridor utama tadi, segera menangkap tubuh lemas itu dengan kedua tangan. Diikutinya gerak tubuh yang kemudian meluruh jatuh itu. Dengan menyangga tubuh Tari, Ari melemahkan gaya gravitasi yang mencengkeram Tari dalam tarikannya. Hingga kerasnya lantai koridor yang menyambut kemudian tidak sampai melukai cewek itu. Hati-hati Ari mendudukkan Tari di lantai. Kemudian Ari berlutut di sisi Tari, menyangganya dengan tangan kirinya. Ari langsung memajukan tangan kirinya hingga lengan atasnya membentuk sudut, untuk memaksimalkan fungsi tubuhnya sebagai penyangga, karena bisa dia rasakan tubuh Tari benar-benar lemas. Seperti tanpa satu ruas pun tulang di dalamnya. Oji ikut berlutut, tidak jauh di depan keduanya,. Kelima jari tangan kirinya mengurung seekor cicak besar, hingga tak seorang pun melihat penyebab utama Tari kehilangan kekuatan tubuhnya.
“Kasar lo, Ji, bercandanya,” tegur Ari.
“Hehehe…” Oji meringis tertawa. “Kan Bos yang nyuruh?”
“Emang gue yang nyuruh?” Ari belagak mikir.
“Oh, iya, betul. Gue yang ngasih perintah tadi malem ya.” Ari mengangguk-angguk, belagak baru ngeh. Berdiri di antara kedua sobat karibnya, Ridho geleng-geleng kepala sambil ketawa pelan.
“Anak orang tuh, kalo kenapa-napa, lo berdua mau ngomong apa ke emak-bapaknya?” Kali ini Ridho emang nggak terlibat. Kemarin itu pun dia nggak bisa dibilang terlibat. Karena tujuan utamanya adalah soto ayam di kantin kelas sepuluh. Kebetulan aja rute menuju ke sana melewati kelas Tari. Dan Tari seenaknya aja narik kesimpulan bahwa Ridho terlibat. Padahal kemarin kalau Tari mau kabur, bisa kok. Nggak akan dihalangi. Dengan catatan, kaburnya bukan ke arah Oji apalagi Ari. Pembicaraan selanjutnya antara kedua sahabatnya itu tambah bikin Ridho geleng-geleng kepala.
“Semalem Bos malah nyuruh pake tokek atau nggak kadal. Ini udah gue kecilin Bos. Jadi pake cicak. Coba kalo beneran pake tokek atau kadal, bisa-bisa sekarang ni cewek udah mati, kali.”
“Ya yang kecil aja. Anaknya, gitu.”
“Anak kadal sama cicak juga masih gedean anak kadal, Bos.”
“Itu juga udah gue kecilin, Ji. Tadinya malah gue mau nyuruh elo pake komodo atau buaya.”
“Kalo dua itu mah namanya bukan ngerjain lagi, Bos!” Oji melebarkan kedua matanya.
“Tapi ngumpanin!” Tawa geli Ridho meledak.
“Sadis lo berdua!” Dia geleng-geleng kepala lagi. Tari siuman. Pembicaraan barusan seketika menyadarkan Tari, orang yang sedang melindunginya saat ini adalah orang yang juga memerintahkan ini terjadi. Tari bergerak ingin bangkit, tetapi tangan Ari yang sejak tadi menyangga punggung Tari langsung bergerak. Melintang di bawah kedua bahu Tari, tangan kiri itu menarik tubuh Tari sampai merapat ke tubuh Ari kembali. Tangan kanan Ari yang sejak tadi menganggur diam ikut bergerak saat dia rasakan tubuh yang saat ini tengah dipeluknya dengan paksa itu melakukan pemberontakan. Kesepuluh jari Tari langsung mencekal kedua lengan Ari kuat-kuat, berusaha melepaskannya, tapi pelukan Ari justru semakin menguat. Ari menekan tubuh Tari semakin rapat ke tubuhnya sendiri. Kemudian cowok itu menundukkan kepalanya ke satu sisi kepala Tari, rendah-rendah.
“Gue dapet firasat, kayaknya besok lo bakalan buron,” bisiknya. Pemberontakan Tari langsung terhenti. Ari menatap pelipis, ujung alis, dan keseluruhan sisi wajah Tari. Kemudian dia dekatkan bibirnya ke telinga Tari.
“Betul, kan?” bisiknya lagi. Tari menggigit bibir. Dia jauhkan kepalanya, karena hangat napas Ari betul-betul terasa. Tapi kepala Ari mengejarnya. Cowok itu tersenyum tipis. Dia kerucutkan bibirnya, lalu ditiupnya telinga Tari. Tari tersentak. Serentak dia menoleh dan menatap Ari dengan mulut ternganga terperangah dengan tindakan Ari barusan. Satu dari dua mata di wajah yang begitu dekat itu justru memberinya kedipan lambat. Mencipta rona merah yang kemudian menjalari keseluruhan wajah Tari. Buru-buru cewek itu memalingkan muka kea rah lain, satu-satunya usaha menghindar yang masih bisa dilakukannya. Melihat kelakuan Ari, Ridho geleng-geleng kepala. Ridho kemudian membungkukkan punggungnya rendah-rendah, menyejajarkan mukanya dengan muka Tari.
“Mendingan lo ngaku aja deh, Tar,” sarannya. “Soalnya ni orang…,” ditunjuknya Ari dengan dagu, “psycho…” setelah mengatakan itu, dia tegakkan kembali punggungnya.
“Dengar apa yang Ridho barusan bilang?” bisik Ari. “Dia termasuk orang yang paling tau gue.” Tari tidak menjawab. Dia tundukkan kepala rendah-rendah. Berusaha menyembunyikan mukanya yang merah padam dari pandangan begitu banyak mata yang saat ini tengah menatap mereka dari segala penjuru. Tak ayal, untuk kali yang tak terhitung lagi, keduanya kembali menjadi sesuatu yang manis untuk dilihat. Adegan itu seketika membekukan semuanya. Saat itu juga menghentikan langkah siapa pun di tempat mata mereka menangkapnya. Tari yang lemas dan pucat pasi. Dan Ari yang menyangganya dengan seluruh tubuh dan rentang kedua tangannya. Benar-benar pemandangan yang menghangatkan pagi.
Fio langsung terbirit-birit keluar kelas dan lari turun begitu Nyoman memberitahu via telepon. Hanya Fio yang tahu pasti, pemandangan yang dilihat Nyoman sama sekali tak seindah yang terlihat. Bahkan bisa dipastikan bertolak belakang. Pasti, lagi-lagi ini bentuk “penganiayaan” Ari terhadap Tari. Sayangnya, seperti semua orang yang terpaku menatap pemandangan itu, Fio tidak bisa menemukan penyebab Tari ada dalam pelukan Ari, selain apa yang terlihat jelas oleh mata, yang kemudian disimpulkan oleh otak. Dan semua otak yang menyaksikan peristiwa itu menarik kesimpulan yang benar-benar sama. Tari kayaknya lagi nggak fit pagi ini, tapi maksain diri masuk sekolah. Ternyata dia nggak kuat terus mau pingsan. Dan Ari yang kebetulan ada dibelakangnya seketika melompat untuk menolongnya. Tapi Cuma otak di dalam kepala Fio yang menyadari bahwa “kebetulan” itu diikuti tanda tanya. Sweet banget! Bener-bener bak potongan film romantis!
“Ada apa ini?” Bu Sam muncul mengoyak adegan itu. Dipandanginya Ari dengan sorot curiga.
“Tari sakit, Bu,” Ari menjawab dalam atmosfer malaikat. Bukan Cuma dalam suara, tapi juga ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya.
“Begitu?” ucap Bu Sam dingin. Jelas dia tidak percaya. Apalagi kalau Cherubim dan Seraphim pendamping Ari model Ridho dan Oji. Yang datangnya dari neraka. Oji bergegas berdiri lalu memberi salam dengan sikap hormat. Sementara Ridho langsung kabur. Dia ogah ditanya-tanya. Segera Fio melihat kehadiran Bu Sam sebagai kesempatan untuk menyelamatkan Tari. Dengan menyeruak sana sini, buru-buru dihampirinya teman semejanya yang masih dipeluk Ari itu.
“Sini, Kak. Saya bawa Tari ke kelas.” Sepasang mata Ari yang bergerak kearah Fio langsung menatapnya tajam. Fio nggak peduli. Ada Bu Sam. Aman.
“Paling-paling dia Cuma kecapekan. Soalnya minggu ini kelas kami emang banyak banget tugas. Temen sekelas juga banyak yang lagi nggak enak badan kok,” Fio beralasan.
“Biar dia yang bawa Tari ke kelas!” perintah Bu Sam dengan nada tak terbantah. Ari berdecak lalu mendesis pelan. Kedua matanya yang menatap Fio menyorot semakin tajam, melontarkan peringatan. Berusaha untuk tidak melihat kearah kedua mata hitam itu, Fio mengulurkan kedua tangannya.
“Yuk, Tar…” Tari menarik napas lega. Kepalanya lalu menoleh ke belakang, berusaha melihat Ari lewat sudut mata, tapi tidak berhasil.
“Awas tangan lo!” desis Tari tajam, tertuju pada Ari. Tapi Ari justru mengetatkan pelukannya. Cowok itu kemudian berdiri, dengan menarik serta Tari bersamanya. Pada tiga detik waktu yang dibutuhkan mereka berdua untuk berdiri tegak, tanpa kentara Ari berbisik tajam di satu telinga Tari,
“Besok!” kemudian dia lepaskan pelukannya. Setelah menganggukkan kepala kepada Bu Sam, ditinggalkannya tempat itu. Bu Sam menatap punggung yang menjauh itu sambil geleng-geleng kepala. Ketika adegan yang seperti diambil dari potongan film romantis itu berakhir, para penonton ikut bubar. Sebagian pergi begitu saja, sebagian sambil berkasak-kusuk membicarakannya.
***
Sumpah, Ari sadis banget! Saat jam istirahat pertama, Tari masih agak pucat. Tu cewek sampai nggak berani masuk gudang, dan memilih membicarakan situasinya yang gawat di dalam kelas, dengan risiko dicuri dengar. Soalnya ruang kelas jarang sekali dalam keadaan benar-benar kosong. Selalu ada satu-dua kepala yang memilih tetap bercokol di dalam. Selama ini memang belum pernah cicak nongol di gudang, tapi dari ruangannya yang lembap, berdebu, dan penuh tumpukan bangku, meja, dan barang-barang rusak yang lain, nggak perlu tebak-tebakan, di situ udah pasti banyak banget cicak. Mau berdiri di koridor depan gudang, tari merasa kedua kakinya masih lemas. Dan untuk pertama kalinya juga tu cewek berpikir untuk mencari pertolongan. Tari tidak lagi yakin dirinya bisa dan sanggup mengatasi masalah ini sendirian. Setelah beberapa saat menunduk dalam-dalam, serius mencoreti selembar kertas di atas pangkuannya hingga lembaran putih itu penuh dengan garis-garis hitam, Tari mengangkat kepala. Ditatapnya Fio, yang juga jadi nggak tega untuk meninggalkan kelas.
“Gimana kalo gue ngomong ke Ata aja?” Tanya Tari dengan suara lirih. Fio langsung menarik napas lega.
“Gue baru mau ngomong gitu,” jawab Fio dengan suara sama lirrihnya.
“Iya, Tar. Mendingan lo cerita sama Ata. Kali aja dia bisa bantu cari solusi.” Kemudian Fio berdecak pelan sambil geleng-geleng kepala.
“Kak Ari tuh gila banget deh. Kalo lo punya penyakit jantung, cara dia tadi pagi itu bisa bikin lo mati di tempat, Tar.”
“Tadi pagi malah gue piker gue udah mati, tau!” Tari mendengus. Begitu melihat Tari dan Fio bicara bisik-bisik, Chiko salah seorang yang masih tinggal di kelas, langsung bangkit dari bangkunya dan tergopoh-gopoh menghampiri.
“Apaan? Apaan? Yang tadi pagi, ya?!” serunya dengan suara bersemangat dan langsung menjatuhkan diri di bangku di depan Tari. Tari dan Fio menatapnya dengan pandang kesal.
“Elo kenapa nggak jajan ke kantin sih?” tanya Tari dingin. Chiko menyeringai.
“Nggak laper,” jawabnya pendek.
“Gila lo, Tar. Peluk-pelukan di koridor utama. Tapi…,” dia acungkan jempol kanannya, “kereeeeeen!”
“Siapa yang peluk-pelukan sih?” Fio bereaksi. Dipelototinya Chiko tajam-tajam. Tari sendiri nggak peduli. Setelah peristiwa tadi pagi, semua godaan teman-temannya jadi kelihatan kecil dan nggak penting banget buat diurusin.
“Cerita dong, Tar,” Chiko tak memedulikan pelototan galak Fio.
“Gimana ceritanya tuh, elo bisa dipeluk Kak Ari gitu? Tadi pagi lo sakit, ya? Katanya lo mau pingsan? Kak Ari tuh feeling-nya bagus juga ya, tau aja lo mau pingsan. Bisa udah siap di belakang lo gitu.” Chiko berdecak sambil geleng-geleng kepala. Tari langsung cemberut.
“Berisik lo!” sentaknya kesal. Kemudian dia bangkit berdiri.
“Yuk, Fi. Males banget gue, ada orang bawel.” Tari berjalan cepat keluar kelas. Fio bergegas menyusul.
Chiko mengikuti kepergian keduanya dengan tawa geli. Tari berjalan cepat ke arah koridor di depan
gudang. Tak dipedulikannya tatapan-tatapan
yang tertuju padanya. Peristiwa tadi pagi sudah pasti masih
segar bersarang di dalam kepala setiap orang. Dan semua juga pasti berpikir persis sama seperti Chiko tadi. Karena memang itulah kesan yang tertangkap oleh semua mata. Tadi pagi Oji memperlihatkan cicak itu hanya dalam hitungan detik. Dalam genggaman kelima jari tangan kirinya, kemudian dia menyembunyikan binatang menjijikkan itu dari pandangan semua mata. Tapi posisi tangan kiri dan kelima jari itu memastikan Tari, cicak itu bisa mencelat kapan saja. Sesampainya di depan gudang, Tari menempelkan punggungnya di dinding pembatas koridor. Sambil mengeluarkan ponsel dari saku kemeja, dilihatnya berkeliling. Memastikan tidak ada seorang pun-selain Fio-yang dapat mendengar pembicaraannya.
“Halo, Ata…”
“Iya, Tar. Apa?”
“Ta, bisa ketemuan nggak?”
“Kapan?”
“Hari ini.”
“Nggak bisa kalo hari ini.”
“Yaaaaaah,” tari langsung mengeluh panjang. “Bisain dong. Pleeeeease.”
“Ada apa sih? Kok mendadak banget?”
“Penting banget.”
“Iya, apa?”
“Pokoknya penting banget deh. Gue nggak bisa cerita di telepon.” Terdengar Ata menghela napas.
“Gue hari ini ada PM. Kalo besok aja, gimana?”
“Besok udah terlambat. Gue udah keburu mati.” “Lo tuh ya, bercandanya suka kelewatan.”
“Ini nggak bercandaaa!” seru Tari tertahan. Nyaris ingin menangis.
“Kalo nggak percaya, lo telepon gue besok deh. Ni nomer pasti udah nggak aktif lagi. Kalopun masih aktif, yang ngangkat kalo nggak bokap ya nyokap gue, atau adik gue. Dan tiga-tiganya lagi pada histeris. Dan tersangka pembunuh gue, jelas sodara kembar lo itu. Jadi sekarang terserah elo deh. Kalo mau dia dipenjara, ya udah, kita nggak usah ketemu nggak pa-pa.”
“Oke deh. Oke.” Akhirnya Ata mengalah.
“Elo tuh ya, makin dibiarin malah makin kelewatan dramatisasinya…” Ata tertawa pelan.
“Nanti begitu bel, gue langsung cabut. Kira-kira satu jam sampe Jakarta. Lo nunggu dimana? Jangan di sekolah ya.”
“Ya nggaklah. Ntar gue ngomong sama Fio dulu deh. Enaknya kita ketemuan dimana.”
“Oke. Kabarin gue kalo udah nemu lokasinya ya.”
“Iya…” Tari langsung lega. Senyum lebar mengembang di bibirnya.
“Makasih ya, Taaaa,” ucapnya manis.
“Iyaaa…” Ata membalas dengan suara yang jelas terdengar dia juga sedang tersenyum lebar.
***
Uraian panjang Tari selesai. Sesaat Ata terdiam, kemudian menarik napas panjang.
“Gue udah tau lo pasti nggak sendirian. Nggak mungkin sendirian. Pasti ada orang lain di depan lo. Orang yang ngelindungin elo dari Ari.”
Ganti Tari menarik napas panjang, seiring kepalanya yang bergerak menunduk.
“Kadang-kadang gue nyesel sih,” keluhnya. “Coba hari itu gue nggak dating telat. Jadinya kan nggak kejebak tawuran. Jadinya juga nggak bakal kenal Angga. Jadinya juga hari-hari gue nggak bakalan jadi ribet kayak gini.”
Tari lalu terdiam. Keheningan tercipta diantara ketiga orang yang duduk mengelilingi satu meja itu.
“Kadang-kadang…,” Tari meneruskan kalimatnya, “gue juga nyesel kenapa waktu itu Kak Ari pilih berdiri di depan gue.waktu dia dating telat pas upacara. Padahal ada banyak alternative. Dia bisa berdiri di depan Fio, atau Devi, atau… siapa ajalah cewek yang berdiri sejajar sama gue waktu itu. Ada tiga orang selain gue. Atau nggak, di kelas sebelah, sepuluh-delapan. Ada empat cewek juga yang berdiri sejajar sama gue. Ada banyak banget alternative deh. Kenapa juga sih dia pilih berdiri di depan gue? Kalo dia nggak berdiri di depan gue, kami juga nggak akan saling kenal…”
Tari terdiam lagi. Tapi kali ini sepertinya dia serius tenggelam dalam penyesalannya itu. Karena raut mukanya jadi murung.
Fio tertegun. Begitu mengatakan deretan penyesalannya, kepala Tari terus menunduk, jadi Tari tidak melihat itu. Fio lah yang menyaksikan sepasang mata Ata terus terarah pada wajah tertunduk Tari, memandang lembut. Fio bahkan nyaris yakin, dia bisa membaca keinginan Ata untuk memeluk Tari dalam cara kedua mata itu menatap.
Aduh, makin runyam nih! Desis Fio dalam hati.
“Takdir, Tar…,” suara pelan Ata memecahkan kebisuan di Antara mereka. “Emang kita harus ketemu. Elo, Ari, gue, Angga. Meskipun gue nggak tau apa fungsi Angga di sini. Tapi pasti ada sesuatu yang mengaitkan dia sama kita.”
Setelah lama menunduk, Tari mengangkat kembali kepalanya. Ditatapnya Ata.
“Elo kok bisa ngomong gitu?” tanya Tari dengan nada lesu.
Ata tersenyum. “Orang-orang yang lahir pada sore hari, pas matahari terbenam, kalo dikumpulin bisa ribuan. Jutaan bahkan. Nggak usah jauh-jauh deh. Temen-temen gue atau orang-orang yang gue kenal, yang lahir pas matahari terbenam, itu aja udah banyak banget. Tapi, lo tau nggak?” Ata mengangkat kedua alisnya. “Nggak ada satupun yang namanya Matahari. Apalagi Senja, apalagi Jingga. Apalagi gabungan tiga kata itu. Elo satu-satunya. Dan nggak tanggung-tanggung. Kalo gue sama Ari Cuma gabungan dua dari tiga kata itu, lo menyandang tiga-tiganya. Karena nama awal lo kan Senja Matahari. Elo menyandang nama kami berdua.” Ata geleng-geleng kepala. Ada sorot takjub di kedua matanya yang menatap Tari.
“Satu lagi yang bikin gue yakin, kita emang akan dan harus ketemu adalah…,” Ata menghentikan sesaat kalimatnya, “karena ortu lo ngasih lo nama itu. Matahari. Kenapa mereka nggak ngasih nama yang lain? Ada banyak padanan kata untuk matahari. Sunny, atau Rere, pengulangan untuk nama Dewa Matahari Mesir Kuno, Dewa Ra. Atau kalo mau kata yang asli Indonesia, Mentari. Karena lo cewek. Mentari lebih pas. Lebih kedengeran feminism. Matahari itu maskulin, karena dia pasangan bulan. Jadi sebenarnya kurang pas kalo dipake buat nama cewek. Tapi ortu lo tetep ngasih lo nama itu. Karena kalo nama lo bukan Matahari, berarti lo nggak ditakdirkan untuk ketemu kami. Jadi nggak ada yang perlu disesalin.”
“Iya juga ya?” Tari memangdang Ata dengan terpukau. Karena terus terang, dia belum pernah berpikir sampai sejauh itu. “Kalo dipikir-pikir aneh juga ya?”
“Nggak juga. Takdir Tuhan, udah diatur begitu,” ucap Ata halus. Kemudian dia menarik napas panjang.
“Sekarang kita balik ke permasalahan. Terus, rencana lo apa?”
“Oh…” Wajah Tari langsung jadi keruh lagi. “Kalo pas jam pelajaran sih udah pasti aman. Ada guru. Di luar itu yang bahaya. Pagi sebelum bel, dua kali jam istirahat, sama jam pulang. Besok sih rencananya gue mau berangkat mepet waktu. Kalo bisa sampe sekolah pas banget sama bel masuk bunyi.”
Ata ketawa geli. “Emang bisa? Gimana ngaturnya?”
“Yah, liat besok deh. Kalo kecepeten, y ague nunggu di halte.”
“Terus, pas jam istirahat?” tanya Ata. Kedua matanya memandang Tari dengan penuh minat. Meskipun begitu, bibirnya tersenyum geli.
“Kalo itu rencananya…”
Entah kenapa mendadak Tari berpendapat, gudang sama sekali bukan tempat ngumpet yang aman dan nggak bakal ketauan. Kelau Ari nggak menemukan dirinya di kelas, di kantin, bahkan di toilet cewek, alternatif terakhir jelas tinggal mencari di gudang. Bahkan bisa jadi tu cowok akan langsung menuju gudang begitu sampai di area kelas sepuluh. Karena Cuma cewek bego yang akan tetap tinggal di kelas atau kabur ke kantin setelah mendapatkan ancaman berturut-turut.
Pikiran itu membuat Tari serta-merta menoleh ke Fio.
“Jangan di situ deh, Fi. Kayaknya bakalan langsung ketauan.”
“Terus di mana?” tanya Fio bingung.
“Mmm…”
Dengan kedua mata menatap langit-langit dan jari telunjuk kanan mengetuk-ngetuk bibir, Tari berpikir keras. Ata menatap kedua cewek itu dengan bingung.
“Ah, iya!” seru Tari kemudian. “Gue mau kabur ke koperasi aja deh. Kan deket sama ruang guru tuh. Ntar kalo Kak Ari berani macem-macem, gue tinggal jerit-jerit deh. Bodo amat bikin heboh,” sesaat dia terdiam. “Begitu bel istirahat bunyi, gue langsung ngekorin guru, turun ke bawah sampai koperasi. Gue mau numpang ngumpet di pojok ruangan, di samping lemari besi…” Tari terdiam sesaat lagi. Tampak memikirkan betul-betul rencana barunya yang muncul mendadak itu. “Sip! Sip!” tak lama kemudian dia mengangguk-angguk. “Oke!”
Ata ketawa geli. Kedua bahunya sampai berguncang.
“Elo kenapa nggak cabut aja sih? Sehari gitu,” sarannya setelah tawanya habis.
“Maunya sih gitu. Tapi besok banyak tugas yang kudu dikumpulin.”
“Strategi lo itu nggak meyakinkan, tau! Gue nggak yakin lo bakalan selamet meskipun tu ruang koperasi deket ruang guru.”
Ucapan Ata membuat Tari menoleh. “Gue baru sadar, gue ngajak lo ketemuan tuh supaya lo bisa bantu nyariin solusi buat besok. Jadi besok bagusnya gimana?”
“Elo kelar cerita juga belum ada setengah jam, Tar. Gue belum sempet mikir lah…”
Tari berdecak. “Kayaknya nggak guna deh ngajak elo ketemuan.”
“Jangan gitu dooong. Ntar gue pikirin di rumah deh. Bener. Soalnya ini kudu tenang mikirnya. Nggak bisa sambil panik. Tapi supaya bisa mikir begitu, gue harus tau situasi lo yang pasti tuh sekarang kayak apa.”
Ata memajukan duduknya sampai dadanya menmpel di meja. Kesepuluh jarinya saling bertaut. Meskipun sikapnya tetap terlihat tenang, kedua mata itu kini menatap Tari lurus-lurus.
“Lo sendiri gimana?” tanyanya. Suaranya pelan, tapi ada nada menuntut di dalamnya.
“Apanya?” Tari menatapnya dengan bingung.
“Elo lebih merasa kehilangan bodyguard atau…?” Ata menggantung sejenak kalimatnya. Kedua matanya semakin lurus menatap cewek di depannya itu. “…gebetan?”
Tari tersentak. Sontak mukanya memerah.
“Apa sih maksud lo?”
“Soalnya tampang lo sedih banget tadi, waktu cerota bagian Angga mutusin untuk mundur karena dia tau sekarang ada orang lain yang berdiri di depan lo, gantiin posisi dia.”
“Elo nggak usah sok tau deh.”
“Kok sok tau? Mata gue dua-duanya normal nih. Nggak minus apalagi katarak. Apalagi posisi lo sekarang persis di depan gue gini. Jadi amat sangat nggak mungkin gue salah tangkep ekspresi lo tadi.”
“Elo tuh sebenernya mau bantuin nggak sih?” Tari jadi kesal.
Ata tersenyum. “Kan tadi gue udah bilang. Gue perlu tau dengan jelas situasi lo sekarang. Supaya gue bisa nyari solusi yang tepat.” Masih dengan senyum, Ata lalu menaikkan kedua alisnya.
“Bodyguard…,” jawab Tari kemudian, agak ketus.
“Pinter lo jawabnya.” Senyum Ata melebar. “Tapi tenang aja. Akan gue anggap emang begitu.”
Tari ternganga. “Elo tuh…” dia hentikan kalimatnya. Sadar akan membahayakan dirinya sendiri.
“Ntar lo gue telepon.” Ata memundurkan kursi yang didudukinya. “Balik yuk. Gue kudu ikut PM nih.”
“Tari menatapnya dengan bingung. “Jadi, besok gimana dooong?”
“Yan tar lo gue telepon. Gue pikirin di rumah atau nggak ntar di mobil. Mikirnya nggak bisa instan, kalo udah menyangkut kembaran gue itu. Pasti gue bantuin. Lo tunggu telepon gue. Oke?” Ata tersenyum menenangkan. Ditepuknya satu bahu Tari. Kemudian dia berdiri.
Mau tidak mau Tari dan Fio ikut berdiri. Ketiganya lalu keluar dari kedai ayam bakar pinggir jalan itu. Karena gentingnya masalah-setidakya bagi Tari-ketiganya hanya memesan segelas jus jeruk. Tidak ada keinginan untuk makan.
Ata langsung menytop taksi kosong yang pertama lewat. Seperti kebiasaannya selama ini, diletakkannya selembar uang untuk ongkos di atas pangkuan Tari, dilanjutkan dengan pesan untuk berhati-hati, baru kemudian ditutupnya pintu.
Malamnya, sampai menjelang pukul sepuluh, Ata belum juga menelepon. Bahkan ketika Tari berusaha menghubungi, panggilan teleponnya nggak diangkat.
“Tu orang gimana sih?” Tari memelototi ponselnya. “Ternyata beneran nggak guna gue ngajak ketemuan dia tadi.”
Dengan kesal dilemparnya ponsel itu ke dekat bantal. Disusul dia membanting diri ke tempat tidur. Ditatapnya langit-langit kamar. Padahal dia sangat membutuhkan bantuan Ata. Nggak ada jalan lain. Terpaksa dia harus kembali ke rencana awal. Rencana satu-satunya.
Tiba-tiba ponselnya menjerit. Tari langsung melompat bangun dan menyambarnya. Tapi detik itu juga dia mendesah kecewa. Karena panggilan itu dari Fio.
“Ata udah nelepon? Apa rencananya?” tanya Fio langsung.
“Belum,” jawab Tari kesal.
“Belum?” ucap Fio heran. “Wah, berarti dia juga bingung tuh.”
“Kayaknya.”
“Jadi gimana? Balik ke rencana awal?”
“Iyalah. Gue kan nggak punya rencana lain.”
Fio menarik napas panjang. “Ya udah kalo gitu. Fight ya, Tar,” Cuma itu yang bisa dia ucapkan.
“Thanks,” Tari menyahut lemah. Kemudian diletakkannya ponselnya kembali di sebelah bantal. “Ata ngeselin! Nggak berguna!” gerutunya sambil memejamkan mata.
tbc
BAB DUA
Hari pengakuan!
Tari berangkat dari rumah sepuluh menit lebih lambat, dilanjutkan dengan bengong di halte selama lima menit. Alhasil, dia mendarat di halte dekat sekolah pada waktu yang direncanakan. Setengah tujuh kurang lima menit!
“Gila pas banget!” desisnya sambil mengambil ancang-ancang di pintu bus. Sekilas melalui tubuh-tubuh penumpang yang berdiri menyesaki bus, dilihatnya halte itu dalam keadaan kosong. Seperti yang hampir selalu terjadi setiap kali jarum jam akan mendekati posisi setengah tujuh.
Begitu kendaraan umum berwarna oranye itu berhenti di depan halte tujuannya setiap pagi, Tari langsung melompat turun. Dia sudah bersiap akan berlari dengan kecepatan paling maksimal, tapi refleks seketika membekukan geraknya dan membuatnya diam di tempat.
Halte itu ternyata tidak benar-benar kosong. Sebuah motor hitam terparkir di sebelahnya. Sang pemilik sedang bersila di salah satu bangku besi di halte. Duduk santai dengan bibir mengepulkan asap rokok. Begitu melihat Tari, cowok itu berdecak sambil geleng-geleng kepala.
“Ck ck ck. Usaha banget lo ya. Sampai segitunya biar gak ketemu gue.”
Tari terperangah. Tak bisa mempercayai penglihatannya.
Melihat ekspresi Tari, Ari jadi tidak bisa menahan tawa gelinya. Cowok itu lalu bangkit berdiri. Dimatikannya rokoknya dengan cara menekannya ke salah satu pilar besi penyangga atap halte, lalu menyentilnya ke tong sampah yang berada tidak jauh dari tempat itu. Kemudian dihampirinya Tari dan berdiri di depannya dalam jarak bahkan kurang dari selangkah. Tawa Ari menghilang. Ditatapnya Tari dengan senyum dikedua matanya tapi tidak di bibirnya. Seketika muka Tari emmerah. Senyum di kedua mata itu membuat peristiwa kemarin pagi tak ayal muncul jelas-jelas di memori kepalanya.
“Gue jemput lo biar gak telat,” ujar Ari lembut.
“Masih ada lima menit.” Tari mengangkat tangan kirinya. Menyejajarkan jam tangannya dengan muka Ari.
“Jarumnya baru aja bergerak. Jadi sekarang tinggal empat menit,” Ari langsung meralat. Ditunjuknya jam tangan Tari dengan jari.
“Kalo gue lari, sampai gerbang Cuma dua menit. Masih ada dua menit lagi. Jadi gak telat,” balas Tari. Ditatapnya Ari dengan ekspresi puas.
Ari tersenytum tipis. “ Hari ini yang jaga gerbang Pak Rahardi,” ucapnya kalem.
Seketika kedua mata Tari terbelalak. “Gak mungkin! Bohong lo! Lo sengaja nakut-nakutin gue, kan?”
“Lo liat aja,” jawab Ari, tetap dengan nada kalem. Cowok itu balik badan lalu berjalan menghampiri motornya.
Tari langsung panik. Sebenarnya sih dia gak takut telat. Terlambat mah jamak. Siapapun pasti pernah terlambat. Tapi yang jaga Pak Rahardi. Ini yang jadi masalah. Gila aja datang telat di depan hidung kepala sekolah. Sementara Pak Rahardi itu selalu udah ada di depan sekolah paling siang jam setengah tujuh kurang lima belas menit. Nanti Pak Rahardi ngira Tari tukang dateng telat, lagi.
Ari segera mengakhiri kepanikan Tari. Tapi cara bicaranya tetap santai. Seolah-olah apa yang dibicarakan bukan sesuatu yang berdampak serius nantinya.
“Sekali nama lo kecatet di buku piket, seterusnya lo bakal jadi perhatian. Gue juga gak paham, gimana caranya dateng telat dijadiin tolak ukur kalo tuh siswa ada kemungkinan bakalan bermasalah juga di kelas. Kemungkinan dia juga tukang ribut, tukang nyontek, jarang nyatet, jarang ngerjain tugas, dan sederet pelanggaran lain.”
Untuk siswa model Tari, yang punya basic character taat peraturan, penjelasan Ari itu jelas membuatnya tambah panik. Ari mengangkat bahu dengan ringan.
“Lo boleh gak percaya, tapi itulah kenyataannya,” ucapnya sambil menaiki motornya, memasukkan kunci, lalu menghidupkan mesin. “Kalo gue yang telat sih, gak bakal dicatet. Soalnya jatah kolom untuk nama gue udah gak muat. Kepenuhan dari kapan tau. Itu juga udah disempilin disana-sini, sampe gak ada space kosong lagi. Space kosong yang masih sisa tinggal muat untuk bikin titik doang,” ucapnya yang disusul bdengan tawa geli. Cowok itu lalu memundurkan motornya hingga ke tepi trotoar. “Sekarang pasti gerbang udah ditutup setengah. Soalnya udah tinggal tiga menit.” Ditatapnya Tari dengan kedua alis terangkat tinggi.
Seketiks Tari lupa dengan rencana awalnya. Juga luoa dengan keheranannya karena mendapati Ari di halte. Peristiwa kemarin pagi bahkan ikut lenyap dari dalam kepalanya. Buru-buru dihampirinya Ari.
Ari menatap lurus-lurus ke depan. Dikatupkannya kedua bibirnya rapat-rapat, mencegah agar tawa gelinya tidak muncrat keluar. Kesepuluh jarinya segera melepas setang saat dirasakannya satu tangan Tari mencengkeram lengan kirinnya dan tangan yang lain memegang bahunya kuat-kuat. Diraihnya kedua tangan itu lalu dilepaskannya dari lengan dan bahunya.
Dengan tatapan yang tetap lurus ke depan-tapi tatapan itu menyorotkan tawa geli dan bibir yang tersenyum lebar karena tak bisa lagi menahan tawa-Ari menggegam kesepuluh jari Tari lalu mengulurkan kedua tangannya ke belakang. Dibantu cewek itu, yang susah payah berusaha duduk di boncengan motor yang memang tinggi. Tari melakukannya sambil bersungut-sungut.
“Pak Rahardi ada-ada aja deh. Pengin turun pangkat, kali ya? Jangan-jangan dia gak sanggup mikul tanggung jawab jadi kepala sekolah.”
Hampir aja tawa Ari menyembur.
“Udah?” tanyanya lembut.
“He-eh,” Tari mengangguk.
“Oke. Pegangan yang kuat ya. Mau ngebut nih. Soalnya udah tinggal dua menit.”
Tari buru-buru memegang tepi jok kua-kuat dengan kedua tangan. Motor hitam itu kemudian meluncur cepat meninggalkan halte. Begitu mendekati gerbang sekolah, Tari langsung memalingkan mukanya, lurus-lurus menghadap ke punggung Ari.
Motor hitam Ari melesat menerobos gerbang sekolah yang bhakan kini telah menutup duapertiga. Saat melewati gerbang, Tari memberanikan diri melirik ke tepi jalan tempat guru piket biasa berdiri. Seketika kedua matanya melebar, diikuti kepalanya yang langsung menoleh saat itu juga, semakin lama semakin ke belakang, karena motor terus melaju sementara objek tatapannya tetap di tempat.
Begitu Ari menghentikan motornya di tempat biasa, Tari langsung melompat turun.
“Bukan Pak Rahardi!” serunya berang. “Bohong lo!”
Ari tertawa geli. Berkali-kali pada pagi ini.
“Emang lo pikir dia segitu kurang kerjaan, apa? Sampe-sampe jagain gerbang,” ucapnya kalem.
Mulut Tari sudah terbuka lebar, tapi dia gak menemukan kalimat yang tepat untuk membalas kata-kata Ari barusan. Akhirnya bibirnya terkatup vdan membentuk cemberut. Tawa Ari menghilang. Berganti dengan senyum dan tata yang lembut yang bagi Tari lebih menjengkelkan, karena tatpan lembut itu tetap menyimpan sorot geli dan kemenangan.
Masih duduk di ats motor hitamnya, lalu Ari mencondongkan tubuh. Dibungkukkannya punggungnya untuk menyejajarkan wajahnya dengan wajah Tari. Dalam sekian detik yang membuat sekeliling jadi terasa mengabur, Ari emnatap kedua mata Tari lurus-lurus.
“Cukup satu kali aja lo nangis gara-gara dia, ya?” ucapnya pelan, tapi tajam. “Sekarang lo liat orang yang ada di depan lo aja. Oke? Ini peringatan serius. Jadi lo juga jangan main-main.”
Tari tertegun. Kedua matany aseperti terkunci dalam pekatnya kedua bola mata Ari.
Bel masuk menjerit nyaring. Menghancurkan cengkeraman keterpanaan Tari dan menyentaknya kembali ke alam nyata. Ari melepaskan cekalan tangannya di lengan Tari. Cowok itu kemudian turun dari motor besarnya.
Dengan mata sesaat mengarah ke mulut koridor utama, tempat siswa-siswa ynag datang mepet waktu berlarian memasukinya dengan suara gemuruh langkah kaki berlari yang gaduh, Ari berdiri tepat di depan Tari.
“Ada yang mau gue kasih tau ke lo,” nada suaranya kembali santai. “Hari ini lo gak perlu repot-repot ngumpet. Soalnya hari ini gue Cuma sampai jam keempat saja. Mau cabut. Jadi gak bisa gangguin lo. Kecuali kalo ntar jam istirahat pertama lo bersedia turun ke koridor utama, gue bisa gangguin lo sebentar.”
Ari mengatakan itu dengan intonasi seolah-olah mengganggu Tari adalah kewajibannya, dan hari ini dengan amat menyesal dia tidak bisa menjalankan kewajibannya itu dengan baik.
Mulut Tari sampai mangap saking syoknya mendengar kalimat itu. Membuat Ari meledak dalam tawa. Cowok itu sampai tidak bisa menahan diri untuk tidak mengulurkan tangannya lalu mengacak-acak rambut Tari.
“Udah bel. Kita jalan sendiri-sendiri aja ya. Soalnya telat. Runyam ntar kalo lo datang telat bareng gue.”
Masih dengan sisa-sisa tawanya, Ari lalu berjalan menuju koridor utama. Meninggalkan Tari yang masih ternganga di tempatnya.
***
Bel istirahat berbunyi. Tari menyambar ponselnya dari alam laci dan langsung berlari keluar kelas. Fio buru-buru mengikutinya. Begitu sampai di depan gudang, Tari langsung mencari nama Ata di daftar kontak.
“Pasti Ata. Cuma dia satu-satunya oknum tersangka,” ucapnya dengan nada geram. “Gak diangkat!” desisnya kenudian dengan berang. Sekalib lagi ditekannta tombol bergambar garis hijau.
“Hiih!!” kali ini Tari mengentakkan satu kakinya keras-keras ke lantai. “Ke mana sih tuh orang?”
Ditekannya tombol yang sama sekali lagi. Lalu bsekali lagi dan sekali lagi. Fio yang menyaksikannya jadi ikut geram.
“Berarti bener.,.,” Tari menghentikan usahanya. “Dia yang ngasih tau Kak Ari.”
“Ya iyalah,” Fio jadi tersinggung. “Yang tau rencan lo kan Cuma dia sama gue. Kalo bukan dia yang bocorin, masa iya gue gitu?”
“Bukan gitu, Fi. Maksud gue, kok dia tega gitu lho. Bukannya bantuin, malah ngejerumusin. Pantes aja Kak Ari ada di halte tadi pagi. Terus gue kena tipu,” sambil mengeluh Tari menyandarkan punggungnya ke dinding pagar koridor.
“YA lagian lo bego juga sih. Ngapain juga Pak Rahardi jagain gerbang? Emangnya gak ada guru ytang bisa disuruh, apa? Lagian tiap hari kan ada guru piket. Pasti udah ada jadwalnya, kan?”?
“Ya kali aja dia pengin kayak pejabat-pejabat gitu. Meninjau rakyat sampe ke bawah.”
“Yaah, meninjau juga gak harus sampai berdiri di depan gerbang, kali. Dari koridor utama juga tuh gerbang keliatan. Full. Sampe ke engsel sama roda-rodanya.”
“Gue gak mau gambling. Kalo beneran Pak Rahardi, gimana?” Tari menoleh lalu menatap Fio dengan kedua alis terangkat. “Dari dulu tuh gue paling pantang dateng telat di depan kepsek. Di depan guru-guru masih gak papa deh. Mau guru paling galak kek, gue udah pernah. Tapi gak di depan kepsek.”
“Bego lo. Justru mending dateng telat di depan kepsek, tau! Gak bakalan tau dia kita kelas berapa. Kalo guru-guru mah masih ngenalin, lagi. Masih bisa tau lo kelas berapa. Apalagi kalo tu guru ngajar kelas lo, bisa langsung ketauan, kan? Kepsek mana tau?” Fio lalu geleng-geleng kepala. “Trus lo ngobrol apa aja sama Kak Ari, selama boncengan berdua dari halte ke sekolah?”
“Gak ngobrol apa-apa lah. Aneh deh lo nanyanya,” jawab Tari kesal.
“Ya kali aja gitu, lo begonya gak nanggung-nanggung.”
Tari cemberut. Bibirnya sampai membentuk kerucut. Fio geleng-geleng kepala lagi. Kali ini sambil menarik napas panjang.
“Gue gak tau ini konyol atau ironis. Lo sengaja dateng mepet waktu biar gak ketemu Kak Ari. Tapi ternyata malah dijemput dia di halte terus boncengan motor ke sekolah. Setelah kejadian kayak kemaren pagi pula.” Sekali lagi Fio geleng-geleng kepala. “ Aaah!” Dia menjentikkan jari tangannya keras-keras. “Gue udah menemukan kata yang tepat banget.” Fio mengangguk tajam. “Tragis!” Dia mengangguk-angguk. “Iya, bener. Tragis!”
“Apa lo kata deh,” desah Tari. Pasrah dengan celaan Fio. Setelah sekali lagi menekan tombol bergambar garis hijau dan lagi-lagi panggilannya gak direspon bahkan sampai ujung bunyi ringtone. Tari akhirnya pasrah dalam usahanya mengontak Ata. Dimasukannya ponselnya ke saku sambil menghela napas.
“Lo mau makan gak? Gue bawa bebto tuh.”
“Mau! Mau!” jawab Fio langsung. “Lauknya apaan?”
“Tau apaan. Lupa.”
“Lo gak makan?”
“Gak laper.”
***
Jam istirahat kedua, Ata lebih dulu menghubungi. Tari langsung berlari keluar menuju koridor depan gudan. Fio bergegas mengikuti.
“Tar, ada apa? Sorry tadi gak bisa ngangkat. Lagi rapat OSIS.”
“Lo ngomong apa ke Kak Ari?” suara tari langsung menajam.
“Hah?” Ata tersentak. “Oooh,” dia langsung sadar. “ Lo gak apa-apa, kan? Aman?” tanyanya kemudaian dengan nada cemas.
“Lo denger gak sih apa yang gue tanya tadi? Lo ngomong apa ke Kak Ari?” Tari nyaris membentak. Ata tidak langsung emnjawab. Tari bisa mendengar cowok itu menghela napas berat.
“Gue bilang ke Ari, ‘Ri, lo seharusnya gak usah terlalu keras. Gak perlu terlalu maksa. Kalian kan satu sekolah. Setiap hari ketemu. Dari jam setengah tujuh pagi sampai jam dua siang…” Ata menerangkan dengan nada sabar.
“Terus?” tanya Tari tajam. “Gak usah gak ngaku deh. Gak mungkin lo Cuma ngomong segitu.”
Ata menghela naps lagi. Kali ini diikuti keterdiaman yang cukup lama. Tari yang justru memecahkan keheningan sambungan telepon itu.
“Lo boleh diam lama. Gak usah khawatir. Gue baru isi pulsa. Ntar kalo pulsa lo habis, gue langsung kontak balik.”
Lagi-lagi Ata menghela napas. Lebih panjang dri dua kali sebelumnya. Kemudian dia bicara dengan nad alambat.
“Gue bilang, ‘Mulai sekarang lo gak punya rival, tuh cowok udah mundur…’”
Tari terperangah. Mulutnya menganga lebar. Sekian detik hanya itu reaksi yang mampu keluar sebelum kemudian dia menjerit keras.
“APAAA!!!?”
Fio, yang tadinya hana berdiri dalam menemani dalam jarak yang terjaga, langsung mendekat. Dengan halus didorongnya Tari, benar-benar sampai ke tepi koridor.
Di tengah fokusnya meledakkan seluruh emosinya ke Ata, Tari memandang Fio dengan tatapan bertanya. Tanpa bicara, dengan dagu Fio menunjuk ke arah lain koridor. Jeritan Tari tadi telah menyebabkan semua mata sekarang terarah padanya.
Tetap dengan posisi ponsel menempel di satu telinga, Tari memutar tubuh untuk membelakangi. Sementara Fio segera berdiri pad aposisi yang emmbuat teman semejanya itu terhalang dari semua mata yang emnatap ingin tahu.
“Gue kecewa banget ama lo,” desis Tari dengan nada pahit. “Gue pikir gue bisa percaya lo. Gue lupa, darah tuh lebih kental daripada air!”
“Tar, denger dulu. Gue…”
Tapi Tari sudah tidak ingin mendengar lagi. Ditekannya tombol bergaris merah di ponselnya kuat-kuat. Suara Ata yang meminta, seketika terputus. Detik itu juga ponselnya berdering. Dengan pandang dingin Tari emnatap layar ponselnya lalu ditekannya tombol on/off. Ponselnya langsung membisu. Kemudian ditatapnya Fio lurus-lurus.
“Selesai. Gue gak kenal dia!”
“Tar, mendingan lo dengar du…”
“Gue gak pernah kenal Ata! Tari mengabaikan kalimat Fio. “Yang ada Jingga Matahari. Gue. Gak ada Matahari Jingga!” Tatapan Tari ke Fio kemudian menajam. Menunjukkan kebulatan tekad. “Akan gue hadapin sendiri tu Matahari Senja! Dia kira gue takut, apa?”
Selesai mengatakan itu, Tari balik badan dan pergi. Fio menghela napas.
***
Untuk pertama kalinya Tari marah pada Ata. Di matanya kini, cowok itu benar-benar pengkhianat yangtak termaafkan. Ata bahkan lebih buruk daripad saudar kembarnya.
Semenjak pembicaraan terakhir itu Tari tidakl lagi memedulikan setiap panggilan telepon Ata. SMS-SMS dari Ata juga langsung dihapusnya tanpa dibaca.
Keesokan paginya, sambil menanti bel masuk berbunyi, Tari mengganti ringtone yang selama ini digunakan khusus untuk Ata dengan salah satu lagu R&B favoritnya, Killa. Jadi pada saat masuk panggilan telepon dari Ata, bukannya diangkat, Tari akan mengangguk-angg
ukkan kepala. Menikmati lagu itu sampai Ata mengakhiri usahanya. Dan ketika lagi itu berhenti, , dengan puas dipandanginya ponselnya sambil berkata, “usaha aja terus lo. Gak bakal gue angkat!”
Kalaun kelas sedang kosong, Tari akn bereaksi lebih kejam lagi. Dia joget-joget. Keesokan harinya Tari mengganti Killa dengan Show Me The Money. Angguk-angguk kepala dan joget-joget berlanjut lagi. Tapi begitu lagu itu berhenti, ungkapan ras apuasnya jadi ganti.
“Show mw the money and I’ll forgive you! Hahaha!”
Fio mengikuti setiap tingkah Tari itu dengan rasa prihatin. Dia nelangsa tapi gak bisa apa-apa, karena dia juga merasa Ata telah melakukan kesalahan.
Setelah selama dua hari rentetan usahanya untuk mengontak Tari di reject, Ata mengalihkan usahanya ke Fio. Pagi hari ketiga, sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi, Fio menjauhkan diri dari kerumunan saat layar ponselnya memunculkan nama Ata. Tak lama dia kembali. Ditepuknya lengan tari pelan, meminta Tari untuk menjauh dari kerumunan.
“Ata,” ucap Fio pelan sambil menyodorkan ponsel. Tari langsung melengos.
“Males!”
“Katanya, lo gak bisa diajak ngomong, dia mau nongol di sekolah.”
“Yee, ngancemeem??” Tari memelototi ponsel Fio. “Nongol aja. Emangnya yang punya masalah siapa?” semburnya.
Fio menghela napas. Didekatkannya ponselnya ke telinga.
“Katanya lo nongol aja…”
“Iya. Gue denger,” Ata memotong. Suaranya terdengar berat. Ganti cowok itu yang kemudian menghela napas. “Oke deh. Thanks ya, Fi.” Akhirnya Ata menutup pembicaraan. Siangnya pad jam istirahat pertama, Ata kembali mengontak Fio.
“Gitu?” Fio melirik orang di sebelahnya. “Tapi gue nyampein aja ya. Dia mau apa gak, gue gak bisa apa-apa.”
“Iya. Lo sampein aja ke dia. Gue tunggu di tempat yang waktu itu. Ntar dua jam terakhir, gue cabut. Biar bisa sampai sana on time.”
“Oke deh.” Fio mengangguk. Diakhirinya pembicaraan. Kemudian dia menoleh dan berkata dengan suara pelan. “Ntar siang Kak Ata nunggu di tempat yang waktu itu. Dia cabut dua jam terakhir.”
Tari tak mengacuhkan informasi Fio itu. Sambil mengunyah kacang bogor yang dibawanya dari rumah, kedua matanya tetap terfokus ke lembaran-lembaran majalahremaja edisi terbaru yang dipinjamnya dari Maya.
Fio menghela napas. “Pokoknya udah gue kasih tau ke lo ya, Tar.” Ucapnya sambil mengambil segenggam kacang bogor lalu mengunyahnya sambil ikut membaca majalah itu.
Ketika siang harinya mereka telusuri jalan aspal menuju gerbang sekolah, Fio sudah kehilangan semangatnya untuk mengingatkan Tari bahwa Ata sedang menunggu.
Lima meter menjelang gerbang, tiba-tiba Oji menghadang. Dipandanginya Tari dengan seksama. Tari, juga Fio, membalas dengan sorot waspada.
“Jangan digodain, Ji. Dia lagi patah hati.”
Seketika kedua mata Tari bergerak ke arah datangnya suara yang sudah amat sangat dikenalnya itu. Ari tengah berdiri dengan punggung bersandar di dinding pos sekuriti. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Disambutnya tatapan Tari dengan kedua alis terangkat. Dengan kedua mata yang membalas tatapan garang itu, dia teruskan godaannya.
“Ntar dia nangis sampe matanya bengkak parah lagi, lo mau tanggung jawab?”
Oji menoleh. Sesaat ditatapnya Ari dengan kening berkerut. Kemudian pandangannya kembali ke Tari. Tiba-tiba Ari emmbuka kedua lengannya.
“Gimana kalo lo nangisnya di dada gue aja?” tawarnya dengan nada manis. “Gak akan gue biarin lo nangis lama-lama. Nanti lo akan gue peluk kuat-kuat, biar air mata lo cepet kering. Jadi mata lo gak akan bengkak kayak waktu itu.”
Oji langsung mengiringi tawaran mesra Ari untuk Tari itu dengan siulan panjang dan nyaring pula.
“Mau aja,” kata Oji dengan nada memaksa. “Lo bakalan jadi cewek pertama, Tar. Kalo cowok sih udah banyak yang dia peluk.”
Kontan Tari memelototi Ari tajam-tajam. Kemudian dia menatap ke sekeliling lewat ekor mata. Berharap tidak ada yang mendengar kalimat sinting Ari itu kecuali dirinya sendiri, Fio, dan jongos Ari yang menghadang jalannya ini.
Harapan yang jelas gak mungkin banget, karena bel usai sekolah belum lama berbunyi. Ruas jalan itu justru sedang padat-padatnya. Tari berdecak pelan. Dia berusaha menghindari tatapan-tatapan yang saat itu sedang tertuju padanya. Dengan kasar didorongnya tubuh Oji yang menghalangi jalannya. Buru-buru ditinggalkannya tempat itu. Fio bergegas mengikuti. Ari menatap kepergian Tari dengan senyum tipis.
Tari yang tadinya gak ingin menemui Ata, biar aja tu cowok nunggu sampai lumutan, langsung berubah pikiran. Begitu keluar dari gerbang, ditariknya Fio menepi.
“Beneran sekarang Ata lagi nunggu,” bisiknya pelan.
“Katanya gitu,” Fio mengangguk. “Kenapa? Lo mau nemuin dia?”
“Kalo dia beneran datang.”
“Yaudah. Lo kontak gih sana.”
“Lo aja ah. Malesngonong di telepon sama dia. Gue maunya ngomong sambil melototin wajahnya.”
Fio menghela napas. Dikeluarkannya ponselnya dari tas. Tak berapa lama…
“Ada. Udah dateng dari satu jam yang lalu malah.”
Keduanya lalu berbelok ke kiri. Ke arah yang berlawanan dengan halte.
“Lo pacaran sama Angga!?”
Tari dan Fio nyaris terlonjak. Oji sudah ada di depan mereka lagi. Lagi-lagi menghadang jalan. Kedua matanya memelototi Tari.
“Iya!?” cecar Oji.
“Emang apa urusan lo sih? Gue mau pacaran sama siapa kek, terserah gue!” Tari membalas pelototan itu.
“Berarti lo pengkhianat!”
Sesaat tari ternganga. Langsung dibalasnya kata-kat aOji. “Pengkhianat tu kalo gue pindah ke Malaysia, jai warga negara sana, terus gue bilang… ‘Ganyang Indonesia!’ Itu baru pengkhianat!”
Fio menggigit bibirnya rapat-rapat. Mencegah agar senyumnya tidak tercetak disana. Setelah mengatakan itu dan setelah sekali lagi membalas pelototan Oji, Tari melangkah pergi. Fio buru-buru membuntuti. ketika Tari dan Fio sampai di satu-satunya percangan jalan yang ada, mereka agk terkejut karena Ata memarkir mobil hitamnya yang cukup mencolok mata itu tidak jauh dari mulut pertigaan. Tapi cowok itu tidak terlihat diman pun. Tari dan Fio memandang berkeliling. Bingung. Lalu mereka melongok ke dalam mobil. Kosong.
“Tu orang ke mana sih?” ucap Tari pelan.
Tanyanya terjawab tak lama kemudian. Sebuah taksi muncul dari tikungan dan berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ata keluar dari kursi belakang. Kedua matanya tertutup lensa hitam. Sementara sebuah bandana hitam melingkari kepala dan menutupi sebagian rambutnya. Tari dan Fio ternganga. Dengan penampilan seperti itu Ata terlihat lebih garang daripada Ari.
Cowok itu lalu melepas kacamata hitamnya lalu menghampiri Tari dengan tatapan lurus.
“Hampir aja gue tarik paksa lo dari depan sekolah tadi,” ucapnya pelan. Tari tertegun. Ata membuka pintu kiri depan dan tengah mobil hitamnya. “Yuk, cepet. Keburu ada yang mergokin.”
Maih setengah tertegun, Tari naik. Fio, yang menunggu reaksi Tari-karena dia tidak tahu Tari bersedia ikut atau memaksa bicara di tempat ini saja-buru-buru naik ke jok tengah dan menutup pintu. Ata memasukkan kunci lalu menghidupkan mesin. Dia menoleh dan memandang Tari.
“Gue minta maaf,” ucap Ata sungguh-sungguh. Tari tidak menjawab. Cewek itu menatap lurus-lurus ke depan. Ata tersenyum tipis. Diulurkannya tangan kirinya dan sesaat diusap-usapnya kepala Tari. “Lo boleh marah-marah nanti,” ucapnya lunak.
Setelah mengatakan itu Ata kembali megenakan kacamata hitamnya. Everest hitamnya itu pun meninggalkan tempatnya selama beberapa saat terparkir diam.***
‘Kak Ata tadi ada di depan sekolah?” Fio bertanya dengan nada tak percaya.
“Hmm…” Ata mengangguk. “Gak ada kabar. Komunikasi putus pula. Gue pikir, kayaknya gak ada cara lain nih. Terpaksa gue culik atau apapun namanya, yang bisa bikin teman semeja lo ini ada di sebelah gue dan buka mulut.”
“Kok kami gak ngeliat?”
“Gue di dalam taksi. Gue gak bisa ngebayangi kegemparan yang bakal terjadi kalo gue nongol terang-terangan. Kalo konsekuensinya Cuma ke gue sih gak apa-apa. Gak liat tadi ada taksi parkir di seberang jalan?”
“Mm…” Fio mengingat-ingat. Samar dia memang melihat sebuah taksi diparkir di tepi jalan seberang sekolah. “Iya sih. Kenapa gak pake mobil sendiri aja?”
“Mencolok, Fio. Lagi pula gue perlu bantuan. Nyulik orang kayak temen semeja lo ini kan gak bisa Cuma sendirian.”
Selama pembicaraan itu kedua mata Ata terus terarah pada Tari. Cewek itu tidak juga bersuara sejak mereka tiba di gerai donat ini. Tari sibuk mengaduk-aduk capuccino dinginnya, atau memotong-motong donat kejunya, atau memperhatikan pengunjung di meja-meja lain, atau jalanan di depan mereka, karena mereka memilih untuk duduk di teras.
Ata menghela napas.
“Kan tadi gue udah bilang, lo boleh marah-marah,” dia mengingatkan dengan nada lembut. Baru kedua mata Tari bergerak. Ditatapnya Ata dingin.
“Ini gue lagi marah, tau! Saking gue marah banget sama lo nih, gue sampe gak pengin ngomong,” ucapnya pedas.
Ata menghela napas lagi. Akhirnya dia lemparkan “bom molotov” agar kemarahan Tari meledak. Demi agar masalah ini bisa terurai.
“Lo diapain Ari tadi?”
Usahanya berhasil. Kedua mat dingin itu kontan menyala.
“Gak diapa-apain,” Tari tersenyum sinis. “Cuma disenyum-senyumin. Sekarang dia kan pegang kartu As gue. Jadi biarpun Cuma senyum-senyum doang, dia udah ngerasa menang banget tuh. Tadi sih dia nawarin gue nangis di pelukan dia. Biar nangis gue gak lama-lama, katanya. Jadi mata gue juga gak bakalan bengkak-bengkak amat kayak waktu itu.”
Dengan kedua mata yang tetap tertancap pada cowok yang duduk lurus di hadapannya itu, Tari meneruskan kalimatnya.
“Sweet banget…” Tari mengangguk-anggukkan kepala. “Kayaknya harus mulai gue pertimbangkan bener-bener tawaran Kak Ari tadi.”
Kalimat Tari itu membuat Ata menundukkan kepala. Dia berdecak pelan. Ketika kemudian dia angkat kembali wajahnya, tatapannya langsung tertuju pada Fio.
“Tolong tukar tempat, Fi” ucapnya pelan. Fio langsung berdiri.
Tari menatap cowok yang sekarang berada di sebelahnya itu, kembali dengan pandangan dingin.
“Gue ngelawan dia abis-abisan dan lo malah nagsih dia amunisi,” desis Tari. “Padahal gue bener-bener percaya sama lo.”
Ada nada kecewa yang benar-benar pahit dalam suara Tari, dan dia tahu cowok di sebelahnya ini bisa merasakan dengan jelas.
“Maaf,” ucap Ata dengan suara pelan. “Gue pikir lebih baik Ari ditenangin. Dengan gitu lebih gampang dihadapin juga.
“Ditenangin atau dimenangin?” tanya Tari tajam.
“Ditenangin,” Ata menjawab lembut.
“Maksud lo ditenangin, tapi yang ada dia merasa menang, tau gak?”
“Yang penting lo aman, Tar.”
“Ya jelas aja gue aman. Gue kalah!” seru Tari dongkol.
“Yang lo anggap menang tuh yang kayak apa sih? Dia cowok lho. Lo cewek. Kalo dia main fisik gimana? Itu yang gue pikirin. Kalo perang mulut, perang emosi, oke lah. Lo masih punya kemungkinan menang.”
“Pokoknya gue bakalan ngelawan dia abis-abisan!” Tari tetap ngotot. Ditatapnya Ata tajam-tajam.
Ata menghela napas. Dia empaskan punggungnya ke sandaran kursi. “Tadi kenapa lo diem aja?” ditatapnya Tari lurus-lurus.
“Maksud lo?”
“Lo bilang lo akan ngelawan dia abis-abisan. Tapi yang gue liat tadi, lo gak ngelawan sama sekali. Lo Cuma diem.”
“Buat apa lagi? Dia udah tau.”
“Kalo dia belum tau?”
“Dia udah tau. Gue malas berandai-andai.”
“Kalo gitu biar gue yang berandai-andai.” Ata memajukan tubuhnya hingga menempel di meja. Ditatapnya Tari tepat di manik mata. “Taruhlah lo berhasil ngumpet nih, sesuai rencan lo. Seharian lo meringkuk di tempat persembunyian, sampe petugas koperasi pun lupa kalo ada lo. Bahkan sampe laba-laba bikin sarang di badan lo.”
“Gak usah hiperbolis deh. Gue…”
“Harus hiperbolis!” Ata memotong ucapan Tari. “ Taruhlah hari itu lo berhasil lolos. Menghindar dengan sukses. Emang besok gak ada hari lain?”
“Eh, gue tuh bukan cuman kabur atau menghindar dri Kak Ari ya. Gue tuh sambil mikir, tau!cari jalan keluarnya gimana.”
“Selagi lo mikir, lo gak akan sampe pintu gerbang kayak tadi. Gue bahkan gak yakin lo bisa ngelewatin pintu kelas.”
“Gue gak sebego itu, tau! Lo tuh ngeremehin gue banget ya?” Tari jadi tersinggung.
“Lo emang gak bego. Lo Cuma polos. Naif. Karena cara mikir lo sederhana.”
Keduanya lalu terlibat adu argumentasi hebat. Tari dengan tekanan suara yang makin lama makin tinggi, sementara Ata tetap datar. Bahkan beberapa kali cowok itu berhenti bicara. Sengaja membiarkan Tari ,eluapkan emosinya.
Fio menatap kedua orang di depannya bergantian. Mengikuti arah datangnya suara. Sama sekali gak berminat ikutan buka mulut. Doia bahkan kemudian diam-diam pindah duduk saat pembicaraan dengan voltase tinggi itu mulai menarik perhatian. Untungnya mereka memilih meja di luar, di tempat terbuka. Udara mengurai setiap nada emosi yang keluar dari mulut Tari, hingga tidak tertangkap terlalu jelas.
Tarik urat yang penuh titik didih dari salah satu pihak itu kemudian diakhiri dengan Tari menggebrak meja dengan kedua tangan keras-keras. Ata sampai terperangah.
“Gue selesai sama lo,” desis Tari dengan gigi gemeretak. Kemudian dia berdiri.
Nyaris melompat, Ata menyambar kedua tangan Tari dan dengan paksa membuatnya duduk kembali.
“Sekarang lo mau nempatin gue di posisi yang sama kayak Ari? Iya?” untuk pertama kalinya suara Ata meninggi. “Oke, gak papa.” Dia mengangguk. “Lo akan ngelawan Ari di dalam sekolah dan ngehadapi gue di luar sekolah. Bisa?”’
Tari terperangah. Kedua matanya yang emnatap Ata terbelalak lebar.
“Lo ngancem!?” desisnya tajam.
“Iya!” Ata menjawab sama tajamnya.
Kembali Tari jadi terperangah, “Lo pikir dong, emangnya yang salah tuh siapa?”
“Gue yang salah. Makanya gue minta maaf, kan? Berkali-kali. Kurang?”
Keterperangahan Tari berubah menjadi ketidakmengertian. Ditatapnya Ata dengan kedua mata yang kini jadi menyipit.
Ata menghela napas. “Lo tuh gak sadar situasi ya? Hah? Gak sadar?” tanya cowok itu dengan nada agak membentak.
Tari tak menjawab. Tari masih terpukau karena ternyata Ata bisa juga galak.
Ata menghela naps lagi. Wajah galaknya melunak.. dia lepaskan kedua tangannya yang mencekal kedua tangan Tari, dan kembali ke posisi duduk semula.
“Lo tau gak apa yang bikin gue bingung? Sebenernya masalahnya tuh apa sih? Emang kenapa kalo lo ngaku aja, Tar?”
“Iya, bener,” Fio mengangguk, setuju. Dia berdiri dan kembali ke kursinya semula. “Gue sependapat sama lo, Kak. Nagku aja. Emang kenapa?”
“Gue gak seneng, tau gak? Dia pingin tau semua urusan gue. Emangnya dia siapa gue? Ngapain juga apa-apa gue mesti lapor ke dia?” Tari menjawab dengan muka cemberut. “Ntar kalo ngue ngaku, iya gue nangis gara-gara Angga, ntar dia marah, algi. Gak terima. Ntar dia bilang, ‘gak bisa! Lo gak boleh naksir angga. Lo harus naksir gue. Jadi lo Cuma boleh nagis gara-gara gue!’ Gitu pasti dia ntar. Sakit jiwa kan tu orang?”
Ata tertawa pelan.
“Yakin lo, Ari akan begitu?”
“Yakin banget. Sodara kembar lo tuh kan gak jelas gitu orangnya. Gue udah tau banget.”
Tawa Ata menghilang.
“Kenapa?” tanya Tari ketika dilihatnya Ata kemudian menatapnya dengan sorot yang aneh. Cowok itu tersenyum.
“Lo sadar gak? Meskipun teriak-teriak lo benci dia, sebenernya tuh lo justru ngerti banget gimana dia…”
Tari tertegun.
***
Setelah pertemuan itu, Tari sedikit melunak. Tapi dia merasa tak bisa lagi mempercayai Ata sepenuhnya. Karena itu sekarang Tari jadi agak malas mengangkat panggilan telepon Ata. Dan ketika hari ini diangkatnya panggiloan itu, setelah selama dua hari tidak dia pedulikan, Tari langsung mendengar desah napas lega Ata lebih dulu dari sapa pembukanya.
“Akhirnyaaa…”
“Ada apa?” Tari bertanya dengan nada tak bersalah.
“Jangan ngambek terus dong, Tar. Gue jadi feeling guilty nih.”
“Siapa yang ngambek sih? Gue marah, tau. Kalo gue ngambek mah gampang. Lo beliin balon, gue juga baik lagi.”
“Waktu itu kan gue udah minta maaf?”
“Yaaah…” Tari menarik napas. “Bukan marah sih. Masih agak dongkol aja ama lo.”
Ganti Ata yang menarik napas. “Ketemuan yuk?”
Kedua alis Tari kontan terangkat. “Gue lagi sibuk,” jawabnya pendek. “Udah ya. Udah mau bel nih.” Tanpa menunggu jawaban Ata, Tari langsung menutup telepon.
Berikutnya, lagi-lagi baru dua hari kemudian Atri mengangkat panggilan telepon Ata.
“Tar, gue kan udah minta maaf. Kok lo masih marah sih?”
“Siapa juga yang masih marah? Gak, lagi.”
“Terus, kenapa lo baru angkat telepon gue sekarang?”
“Gue sibuk.”
Terdengar Ata menghela napas. Tari gak peduli.
“Ketemuan yuk?” ajak Ata kemudian.
“Bukannya gue gak mau ketemuan, Ta. Tapi gue lagi sibuk banget nih. Bener deh. Sumpah.”
“Tapi Fio gak sibuk-sibuk amat tuh?”
“Fio sama gue beda, lagi.” Sahut Tari enteng. “Kalo dia emang gak sibuk-sibuk amat, ya udah lo ketemuan sama Fio gih. Ntar juga dia cerita kok sama gue,” lanjutnya. Tetap dengan nada ringan.
Kembali Tari mendengar Ata menghela napas. Tapi tetap dia gak peduli. Jujur, di dalam hati masih tersisa sedikit ganjalan. Dia masih belum tahu sampai seberapa jauh Ata bisa dipercayai sekarang.
“Oke deh,” ucap Ata akhirnya. “Gak papa kalo lo gak bisa diajak ketemuan. Tapi telepon gue tolong diangkat, ya?”
“Kalo gue lagi gak sibuk, ya.” Tari meringis. “Oke? Daaah.” Tari langsung emnutup telepon sebelum Ata sempat menjawab.
***
Gagal membujuk Tari untuk memperbaiki pertemanan mereka dengan Ata yang jadi rusak itu, Fio mendapati Ata kemudian berusaha mendekati teman semejanya itu lewat dirinya.
“Mm… gimana ya? Masalahnya lo kan sekarang udah dianggapnya pengkhianat. Ntar kalo gue bantuin lo, gue jadi pengkhianat juga dong?”
“Lo yakin setelah Ari tau penyebab Tari nangis waktu itu, si Angga, maslah udah selesai?”
“Ya gak lah. Malah makin runyam nih kayaknya.”
“Nah, itu lo tau. Terus sekarang dia mau minta tolong siapa? Ada cowok yang mau terlibat kalo urusannya udah sama Ari?”
“Iya sih,” Fio terpaksa membenarkan. “Tapi mendingan lo tunggu aja deh, Kak. Ntar dia juga baik lagi. Tari tuh kalo marah gak lama kok.”
“Kalo selama gue nunggu dia diapa-apain Ari, lo bisa bantu?”’
“Ng…” Fio meringis. “Gak sih. Paling-paling bantu doa doang.”
Di seberang, Ata tertawa pelan.
“Doa tuh eksekusinya di tangan Tuhan, Fi.”
“Iya sih.” Fio mendesah. “Tapi tetep, mendingan Kak Ata tunggu aja deh. Bener kok, Tari itu kalo marah gak lama.”
“Buktinya sama sodar kembar gue lama banget? Sampe sekarang belum bisa damai juga tuh?”
“Ya jelas aja. Sodara kembar lo gila!”
Ata tertawa geli.
“Dia bukan gila. Dia Cuma punya cara pikir yang beda aja sama kebanyakan cowok lain.” Kemudian Ata menghela napas. “Masalahnya, Fi, semalem Ari nelepon gue. Dan lo tau apa yang dia bilang?”’
“Apa?” tanya Fio seketika.
“Ta, lo gantiin Angga gih. Gak seru nih kalo gak ada lawan.”
“Kak Ari ngomong gitu!?” Fio memekik tanpa sadar.
“Iya. Tantangan langsung buat gue tuh. Gak mungkin gak gue jawab.”
“Gitu lon bilang dia gak gila?”
Ata Cuma tertawa.
“Jadi gimana?”
“Mmm…” Fio menggigit bibir. “Iya deh.” Akhirnya dia setuju. Lebih karena dilihatnya memang Cuma Ata satu-satunya penolong yang kehadiran dan uluran tangannya bisa diharapkan sewaktu-waktu.
Penolong yang lain, yaitu kepsek dan guru-guru, hanya eksis selama jam sekolah. Di luar area sekolah adalah rimba yang ganas untuk Tari. Apalagi setelah Angga memilih mundur.
“Tapi gue gak janji dalam waktu dekat ya. Gue pikirin dulu caranya yang gak bikin Tari curiga,” ujar Fio pelan.
“Iya, gue ngerti. Tapi jangan lama-lama.”
“He-eh.”
“Oke, gue tunggu kalo gitu. Thanks, Fi.”
Pembicaraan berakhir. Fio menghela naps lalu garuk-garuk kepala.
“Pusing deh gue,” desisnya.
Fio semakin pusing karena kemudian, setiap tiga panggilannya gak diangkat oleh Tari, Ata akan langsung mengontaknya. Dan kalimat yang langsung terdengar adalah…
“Tari lagi ngapain sih, Fi? Masuk, kan?”
Bete banget gak sih? Apalagi kalau objek pertanyaannya ada pas di depan muka. Dan jeda waktu yang tidak sampai lima detik antara berakhirnya bunyi ringtone ponsel Tari dengan ringtone ponsel Fio yang ganti berbunyi membuat Tari tahu Ata memindahkan target kontaknya. Tari Cuma nyengir setiap kali Fio kemudian meraih ponselnya itu sambil memandanginya dengan tatapan kesal.
***
Belum lagi Fio berhasil mencari cara untuk membantu Ata memperbaiki hubungannya dengan Tari, hari-hari kacau keburu datang. Muncul mendadak seperti badai padang pasir. Rentetan peristiwa tak terduga terjadi dan berlalu, tanpa terprediksi. Memaksa Tari berlari dari yang satu dan mencari perlindungan pada yang lainnya.
 


 

Celotehan Ria Template by Ipietoon Cute Blog Design